
Jakarta, CNBC Indonesia – Upaya China untuk menengahi kesepakatan antara Iran dan Arab Saudi dilihat oleh para analis sebagai tanda lebih dari sekadar ‘perubahan tatanan global’.
Dalam dialog yang berlangsung di Beijing pada Jumat (10/3/2023), Arab Saudi dan Iran sepakat untuk menjalin kembali hubungan diplomatik dan membuka kembali kedutaan mereka dalam waktu dua bulan.
Perjanjian tersebut juga menetapkan penegasan penghormatan terhadap kedaulatan nasional dan tidak campur tangan dalam urusan internal negara. Akun Twitter resmi Iran memposting foto dan video sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban, dengan diplomat paling senior China Wang Yi, berdiri di antara mereka.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Peran China sebagai mediator dalam menyelesaikan masalah lama antara musuh regional tidak dipublikasikan sebelum pengumuman ini. Wang dilaporkan mengatakan bahwa China akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani isu-isu hot spot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara yang hebat. Ia menambahkan, China sebagai mediator yang jujur dan dapat diandalkan telah memenuhi kewajibannya sebagai tuan rumah dialog.
Sementara itu, konflik geopolitik antara keduanya telah berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahun 2016, kedua negara Teluk memutuskan hubungan ketika Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama terkemuka Syiah. Ini memicu protes di Iran dengan pengunjuk rasa menyerang kedutaannya di Teheran.
Kedua belah pihak berdiri di sisi yang berlawanan dan terlibat dalam perang proksi di banyak zona konflik di Timur Tengah.
Di Yaman, dengan perang yang kini memasuki tahun kedelapan, pemberontak Houthi didukung oleh Teheran. Sementara itu, Riyadh memimpin koalisi militer untuk mendukung pemerintah.
Sejak 2021, negosiasi telah diadakan antara kedua pejabat di Irak dan Oman, tetapi tidak ada kesepakatan yang tercapai.
Robert Mogielnicki, sarjana residen senior di Institut Negara Teluk Arab di Washington, DC, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kesepakatan yang dinegosiasikan adalah bukti kehadiran China yang semakin meningkat dan minatnya yang semakin besar untuk memainkan peran di wilayah tersebut.
Mogielnicki mengatakan China berada dalam posisi yang baik untuk menengahi kesepakatan karena Amerika Serikat tidak memiliki hubungan baik dengan Iran.
“Ini adalah aktivitas yang relatif berisiko rendah dan bernilai tinggi untuk dilakukan China karena China tidak berkomitmen pada hasil tertentu,” kata Mogielnicki, dikutip dari Al-Jazeera, Sabtu (11/3/2023).
“Hubungan diplomatik yang lebih baik antara Arab Saudi dan Iran akan mengurangi kemungkinan konflik regional dan akan mengurangi ketegangan regional. Itu adalah hal yang baik untuk China, AS, dan juga aktor regional.”
Sina Toossi, senior non-resident fellow di Center for International Policy di Washington, DC, mengatakan China memiliki kepentingan yang jelas dalam meningkatkan hubungan dan stabilitas di kawasan. Ini karena Teluk merupakan sumber energi penting bagi Beijing, yang mengimpor energi dari Iran dan Arab Saudi.
Pada 2019, ketika fasilitas minyak Saudi menjadi sasaran Houthi, hal itu untuk sementara memengaruhi produksi minyak negara itu, yang menyebabkan kenaikan lebih dari 14 persen harga minyak global selama akhir pekan, lompatan terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Toossi berpikir ini adalah skenario terburuk bagi China. Bahwa konflik di Teluk Persia akan mempengaruhi pasokan energi dan kepentingan ekonominya.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
AS Tuduh China Arab Saudi Soal Agama, Ada Apa?
(pgr/pgr)