
Jakarta, CNBC Indonesia – Pembukaan kembali aktivitas di China diharapkan dapat menguntungkan Indonesia sekali lagi. ‘Pesta kebangkrutan’ akibat kenaikan harga komoditas sepertinya masih akan terasa.
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengungkapkan, dibukanya kembali aktivitas China akan memberikan angin segar bagi perekonomian Indonesia.
Peningkatan aktivitas ekonomi di China akan meningkatkan permintaan komoditas energi, karena merupakan net importir energi.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Oleh karena itu, pasar negara berkembang cenderung diuntungkan dan berada di urutan teratas dalam daftar pembelian. Indonesia sebagai net eksportir batubara tentu akan diuntungkan.
“Harga komoditas energi dalam hal ini minyak, batu bara, gas dapat dipicu naik, dengan dibukanya kembali ekonomi Tiongkok,” jelas David kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (25/1/2023).
“Bagi kami positif, untuk energi kami masih net eksportir, terutama batu bara. Jadi, kami justru diuntungkan,” jelas David lagi. Selain itu, Indonesia kini memiliki pangsa pasar baru dari Eropa.
Pembukaan kembali ekonomi China diperkirakan akan membuat neraca perdagangan Indonesia surplus hingga semester I 2023.
“Dipicu oleh komoditas batu bara, karena permintaan dari China untuk komoditas itu diperkirakan akan meningkat,” kata David.
Senada dengan itu, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menjelaskan bahwa pembukaan kembali perekonomian China merupakan kabar baik bagi perekonomian regional dan global. Karena Cina adalah mesin ekonomi dunia dan sumber utama pertumbuhan industri.
Banyak negara bergantung dan berproduksi di China. Sehingga hal ini akan membawa pertumbuhan ekonomi dunia ke arah yang lebih positif.
“Bagi Indonesia akan lebih positif, karena China adalah mitra terbesar kita dalam hal perdagangan dan investasi,” ujar Fithra.
Di sisi lain, ketika ekonomi China berkembang akan memicu kenaikan harga komoditas lagi yang akan meningkatkan tingkat inflasi. Oleh karena itu, kebijakan bank sentral paling berpengaruh di dunia, The Fed, akan memakan waktu lebih lama untuk menurunkan suku bunga acuannya.
Bahkan tidak menutup kemungkinan suku bunga acuan akan kembali naik sejalan dengan prospek inflasi yang meningkat. Namun secara keseluruhan, lebih banyak yang akan diperoleh dari pembukaan kembali aktivitas ekonomi China.
“Dengan segala biaya dan keuntungannya, saya masih melihat bahwa keuntungan dari pertumbuhan ekonomi China jauh melebihi biayanya,” kata Fithra.
“Indonesia akan menjadi semacam spillover yang signifikan. Kekhawatiran tentang penurunan pendapatan tahun depan dalam hal penerimaan pajak dari ekspor dapat diimbangi oleh pertumbuhan China,” kata Fithra.
Seperti diketahui, China menempati urutan kedua dalam realisasi penanaman modal asing (FDI) di Indonesia. Kementerian Penanaman Modal menyatakan realisasi FDI dari China pada 2022 mencapai US$ 8,2 miliar, terbesar kedua setelah Singapura dengan realisasi FDI sebesar US$ 13,3 miliar.
Bahkan dari sisi perdagangan, China merupakan tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia dan sebagian besar impornya berasal dari China.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor ke China pada 2022 tercatat US$ 63,55 miliar atau menyumbang 23,03% dari total ekspor tahun lalu.
Sedangkan sepanjang 2022, nilai impor dari China tercatat US$ 67,16 miliar atau 34,07% dari total impor tahun lalu.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Buka Data! Ini bantahan Luhut atas klaim RI mendikte China
(stempel)