
Jakarta, CNBC Indonesia – Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai situasi ekonomi global saat ini menuju stagflasi.
Menurutnya, keadaan stagflasi ini terjadi di tengah situasi ekonomi yang mengalami perlambatan yang dalam, diikuti dengan peningkatan pengangguran dan inflasi yang tinggi.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Stagflasi ini, kata Dody, lebih buruk dari situasi perekonomian global saat ini yang cenderung masuk dalam cakupan reflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lambat, meski belum terkontraksi dalam, namun masih diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi.
“Situasi global sebenarnya bergerak menjauh dari reflasi menuju stagflasi,” ujar Dody dalam Pernyataan Prospek Ekonomi dan Bauran Kebijakan Bank Indonesia 2022, Jumat (2/11/2022).
Dody percaya bahwa keadaan reflasi adalah titik tengah antara stagflasi dan resesi yang sebenarnya. Resesi ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi dunia terus mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut atau lebih.
“Jadi stagflasi justru turun, makin parah, sebelum akhirnya masuk resesi. Itu yang dihadapi banyak negara di Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa emerging market,” kata Dody.
Semua itu, kata dia, bermula dari dampak pandemi Covid-19 yang belum dirasakan oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, namun muncul masalah lain yakni perang antara Rusia dan Ukraina yang mengganggu pasokan global. rantai.
“Tentunya yang pertama kita lihat dampaknya terhadap harga barang dan pasokan barang. Pandemi yang dibarengi dengan perang telah mengganggu ketersediaan barang. Bicara soal pangan dan energi, semuanya tergantung harga,” kata Dodi.
Jika harga naik, lanjut Dody, bank sentral di berbagai negara dipastikan akan mengambil kebijakan moneter yang agresif, ditandai dengan menaikkan suku bunga acuan. Sebab, mandat bank sentral adalah menjaga stabilitas.
“Dengan kebijakan itu, suku bunga sudah mulai dinaikkan karena mandat banyak bank sentral adalah stabilitas, jangan sampai inflasi tinggi, nilai tukar fluktuatif, lakukan stabilitas,” ujar Dody.
Dengan kenaikan suku bunga acuan bank sentral di berbagai penjuru dunia, tentu efeknya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Artinya ada tiga triad, inflasi naik, suku bunga tinggi, bahkan suku bunga ini bisa panjang karena inflasi masih tinggi dan ketika efek slow growth mengarah ke konteks resesi,” ujar Dody.
Efek lain ketika pertumbuhan ekonomi melambat adalah di pasar keuangan. Hal itu ditandai dengan melemahnya nilai tukar negara-negara berkembang, keluarnya modal asing, sehingga mengeringkan pasokan likuiditas dolar.
“Otomatis, likuiditas dolar akan cenderung turun, mengering di negara-negara yang tertinggal aliran modal. Lima kombinasi ini kami katakan akan meningkatkan tekanan dan gejolak di tahun 2022 dan 2023 dan ini akan dirasakan di seluruh dunia,” ujar Dody.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Gubernur BI: Resesi di Beberapa Negara, Dunia Menuju Stagflasi
(mij/mij)