
Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis moneter tahun 1997-1998 telah membawa Indonesia menuju era reformasi. Pergolakan ekonomi menjadi motor demonstrasi rakyat yang berakhir dengan tumbangnya Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
Dalam laporan Kompas (14 Mei 1998), kerusuhan dimulai di Grogol, sekitar Trisakti dan Mal Ciputra. Massa yang terprovokasi melempari aparat keamanan dengan batu dan menghancurkan semua yang mereka lihat. Mobil yang diparkir di Ciputra Mall dibakar.
Suasana di dalam Ciputra Mall terasa hambar. Asap hitam pekat mengepul tinggi, semua harta benda mereka dibakar, ada yang dirampok. Toko dan pabrik di Jl. Daan Mogot juga mengalami nasib yang sama. Begitu pula bangunan di kawasan Roxy dan SCBD Sudirman.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Kerugian material dan korban yang tak terhitung jumlahnya hari itu. Yang pasti, hari-hari berikutnya situasinya semakin parah. Perampokan dan kebakaran terjadi di mana-mana.
Penasehat militer Presiden Soeharto, Letkol. Jenderal Sintong Panjaitan, dalam Perjalanan Prajurit Komando (2009) menyebutkan 4.939 bangunan rusak akibat kebakaran, dengan kerugian mencapai Rp 2,5 triliun. Belum lagi ribuan mobil dan motor yang dirusak dan dibakar, serta para korban, baik luka-luka, meninggal dunia, maupun kekerasan seksual.
Kerusuhan yang terjadi kemudian memiliki pola yang sangat mirip: menyasar pusat-pusat perdagangan milik etnis Tionghoa. Hal ini terjadi di beberapa daerah yang kental dengan etnis Tionghoa, seperti Glodok, Roxy, Pluit, Senen, dan Mangga Besar.
Lalu, mengapa orang Tionghoa menjadi sasaran amukan besar-besaran dan kerusuhan berubah menjadi sentimen rasis?
Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena adanya stereotype terhadap mereka bahwa orang Tionghoa harus dibenci karena kaya dan dekat dengan penguasa.
Stereotip ini terjadi karena mereka banyak berurusan di bidang bisnis, sehingga kekayaan mereka meningkat. Sedangkan stereotype dekat dengan penguasa disebabkan karena saat itu Soeharto sangat dekat dengan taipan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong.
Kedua aspek ini semakin membentuk pandangan publik bahwa etnis Tionghoa pasti kaya dan dekat dengan penguasa. Jadi, masyarakat juga menjadikan semua etnis Tionghoa sebagai sasaran.
Tokoh besar seperti Sudono Salim menjadi incaran utama masyarakat saat itu. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong and the Salim Group (2016) menyebutkan bahwa Sudono Salim adalah orang terkaya di Indonesia saat itu.
Kedekatannya dengan presiden membuat bisnisnya lancar hingga menimbulkan kebencian. Rumahnya di kawasan Pluit dan Roxy dibakar massa. Bisnisnya, terutama BCA (bank swasta terbesar saat itu) hancur.
Sayangnya, ada juga yang salah sasaran. Ini terjadi pada Mei (bukan nama sebenarnya) yang rumahnya dirusak massa hanya karena dia orang Tionghoa (Kompas, 21 Mei 1998). Namun, Mei cukup beruntung karena tidak mengalami kekerasan seperti kebanyakan perempuan Tionghoa saat itu.
Untuk lebih amannya, mereka harus menulis “Saya Pribumi” di depan toko atau rumahnya agar tidak merusaknya. Kejadian ini kemudian menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Soeharto. Hingga akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
‘Horor’ Covid China, Puluhan Mobil Pemakaman Antre
(mfa/haa)