
Jakarta, CNBC Indonesia – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur sedang berlangsung dan dikhawatirkan akan semakin besar di awal tahun 2023. Selain itu, tidak sedikit kasus pekerja yang melanggar kontrak. Serikat buruh memperkirakan jumlahnya lebih besar dari jumlah pekerja yang terkena PHK.
“Mungkin bisa ratusan ribu lebih, ratusan ribu, karena mereka cenderung lebih mudah dibebaskan daripada pekerja tetap yang perlu dibayar dan sebagainya,” kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (21/1/2023).
Berbeda dengan karyawan tetap yang cenderung lebih sulit untuk diberhentikan karena ada beberapa kewajiban, karyawan sangat mudah untuk mengakhiri masa kerjanya. Ketika kontrak berakhir, masa tinggal tidak diperpanjang. Situasi ini juga terjadi pada sebagian besar anggotanya.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
“Khusus di Aspek, ada 15.000 pekerja kontrak yang tidak melanjutkan, itu belum termasuk PHK ya, kalau ditambah bisa lebih besar lagi,” kata Mirah.
Nasib buruh kontrak di industri padat karya lebih tragis ketimbang buruh yang di-PHK. Jika pekerja yang terkena PHK menerima uang pesangon, maka pekerja kontrak tinggal menerima nasibnya. Jumlah pekerja yang diputus kontraknya juga banyak.
“Bisa jadi seperti itu, 2x lebih banyak orang yang terkena PHK (200.000 orang lebih), karena yang kontraknya habis tidak pernah melapor,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Filamen dan Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta ke CNBC Indonesia melalui pesan singkat.
Apa aturannya?
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu) pada 30 Desember 2022 kemarin. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Padahal sebenarnya aturan mengenai penggunaan pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja tidak berubah dari ketentuan yang ada dalam UU Cipta Kerja.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Dalam Pasal 59 ayat 1 UU Cipta Kerja, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
– pekerjaan yang diselesaikan sekali atau bersifat sementara
– pekerjaan diharapkan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama
– kerja musiman
– pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, aktivitas baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan
– pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha, atau berpindahnya pemilikan, baik melalui penjualan, pewarisan maupun pemberian.
Dalam Pasal 61 terdapat pengaturan tertulis mengenai pemutusan perjanjian kerja, yaitu apabila terdapat:
– Karyawan/Buruh meninggal dunia
– Berakhirnya Perjanjian Kerja
– Solusi kerja tertentu
– Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan Badan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
– Adanya kondisi atau kejadian tertentu yang ditentukan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat mengakibatkan pemutusan Hubungan Kerja.
“Dalam hal pengalihan Perusahaan, hak Pekerja/Buruh menjadi tanggung jawab Pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak Pekerja/Buruh,” bunyi pasal 61 ayat . 3.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Ada Sinyal ‘Steal Start’ untuk PHK Pekerja Tekstil, Kata Pengusaha
(des)