
Jakarta, CNBC Indonesia – Bayangan Krisis Keuangan Global 2008/2009 kembali muncul setelah salah satu bank terbesar di Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB) ambruk pada Jumat (10/3/2023).
SVB tumbang hanya 48 jam setelah rencana penggalangan dana untuk penambahan modal pada Rabu (8/3/2023). Bank berencana menambah modal sebesar US$ 2,25 miliar atau setara Rp 34,75 triliun (kurs US$ 1 = Rp 15.445).
Jatuhnya SVB dapat berdampak jangka panjang karena bank yang didirikan pada tahun 1983 ini adalah pemberi pinjaman utama bagi banyak perusahaan rintisan.
Jatuhnya SVB bahkan dianggap sebagai kegagalan terbesar sejak Krisis Finansial 2008/2009. Krisis SVB juga menimbulkan kekhawatiran dan banyak perusahaan kemudian berniat menarik simpanan mereka dari bank.
Sejumlah venture capital (VC) diminta segera mencairkan dananya dari SVB, seperti Founders Fund, Union Square Ventures, dan Coatue Management.
Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB berpotensi menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.
Akibat keruntuhan itu, aliran uang dari nasabah mengalir deras. Saham SVB juga turun lebih dari 60%, mendorong otoritas pasar modal untuk menangguhkannya.
Dampak kejatuhan SVB sudah terlihat di pasar saham. Perhitungan Reuters memperkirakan saham perbankan AS telah kehilangan US$100 miliar nilai pasar dalam dua hari terakhir. Sementara itu, bank-bank Eropa merugi US$ 50 miliar.
Menyusul krisis di SVB, Menteri Keuangan AS Janet Yellen segera mengadakan pertemuan darurat dengan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed), serta US Deposit Insurance Corporation dan Office of the Comptroller of the Currency.
“Menteri Yellen menaruh kepercayaan penuh kepada regulator perbankan untuk mengambil tindakan yang tepat. Menteri Yellen menilai sistem perbankan tetap tangguh dan regulator memiliki alat yang efektif untuk menghadapi kejadian seperti ini,” kata Departemen Keuangan dalam pernyataannya seperti dikutip Reuters .