
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki beberapa proyek prioritas yakni Proyek Strategis Nasional (PSN). Daftar PSN ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Perpres ini baru-baru ini direvisi menjadi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Namun, beberapa perusahaan asing satu per satu memutuskan hengkang dari proyek ‘banggaan’ Presiden Jokowi itu. Beberapa proyek, seperti sektor minyak dan gas (migas) dan petrokimia telah ditinggalkan oleh investor asing.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Berikut daftar PSN yang ditinggalkan investor asing.
1. Proyek Gas Laut Dalam
Salah satu PSN yang ditinggalkan investor adalah proyek gas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur.
Awalnya, Chevron Indonesia Company (CICO) adalah pihak yang mengelola proyek IDD ini. Namun, Chevron mengumumkan akan melepaskan pengelolaan lapangan minyak dan gas IDD karena dianggap tidak ekonomis bagi perusahaan.
Sebuah perusahaan migas Italia, yakni ENI, kabarnya akan menggantikan posisi Chevron dalam mengelola proyek IDD. Hal itu juga dibenarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif.
Menurut Arifin, proses alih kelola proyek IDD diharapkan selesai pada akhir Mei 2023.
“IDD nanti akan ada keputusannya insyaallah akhir Mei,” kata Arifin saat ditemui di Kantor ESDM, dikutip Sabtu (13/5/2023).
Proyek IDD cukup menarik untuk dikembangkan karena produksi gasnya diperkirakan mencapai 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 27 ribu barel minyak per hari (bph).
Proyek IDD terdiri dari dua proyek hub gas yang akan dikembangkan, yaitu hub Gendalo dan Gehem. Proyek ini awalnya direncanakan akan beroperasi pada tahun 2025. Namun, proyek tersebut diundur hingga tahun 2028.
Foto: Pekerja Aktif di Proyek Pengembangan Lapangan Gas (JTB) Unitisasi Jambaran – Tiung Biru di Desa Bandungrejo, Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (9/10/2019). Proyek Jambaran-Tiung Biru (JTB) yang dikelola PEPC merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan oleh Komite Percepatan Penyiapan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Pekerja Aktif di Proyek Pembangunan Lapangan Gas (JTB) Unitisasi Jambaran – Tiung Biru di Desa Bandungrejo, Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (9/10/2019). Proyek Jambaran-Tiung Biru (JTB) yang dikelola PEPC merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan oleh Komite Percepatan Penyiapan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
2. Proyek Gas Permanen di Maluku
Proyek strategis kedua yang juga ditinggalkan investor adalah Proyek Padang Abadi yang merupakan Blok Masela di Maluku. Perusahaan Belanda, Shell, memutuskan keluar dari proyek ini dengan menjual Participating Interest (PI) 35 persen.
Keluarnya Shell dari proyek Blok Masela membuat pemerintah mendorong perusahaan minyak dan gas milik negara, yakni Pertamina, untuk masuk dan mengambil 35 persen saham Shell. Saat ini, pemerintah masih menunggu konfirmasi dari Pertamina untuk ikut serta di Blok Masela.
Arifin menargetkan proses pengambilalihan hak partisipasi Shell di Blok Masela sebesar 35 persen oleh Pertamina ditargetkan selesai pada Juni 2023.
Menurut Arifin, setelah proses akuisisi selesai, Pertamina akan menjadi mitra Inpex dalam mengelola blok jumbo tersebut. Diketahui, Inpex masih memegang 65 persen hak partisipasi dan menjadi operator blok ini.
“Kami berharap awal Juni sudah ada keputusan, sudah ada mitra, sudah ada konsorsium baru,” kata Arifin.
Arifin mengatakan Pertamina selanjutnya akan memasuki proses pengambilalihan hak partisipasi Shell di Blok Masela. Karena itu, belum bisa dipastikan apakah perusahaan migas pelat merah itu akan bekerja sama dengan mitra lain atau tidak.
Blok Masela diperkirakan berpotensi menghasilkan gas 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara dengan 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35 ribu barel minyak per hari. .
Proyek ini dikatakan ‘raksasa’ karena diperkirakan menelan biaya hingga US$19,8 miliar atau sekitar Rp293,9 triliun (asumsi kurs Rp14.844/US$). Pengelola blok ini, Inpex dan mitranya, selanjutnya akan membangun kilang Liquefied Natural Gas (LNG) di darat.
3. Proyek Batubara Hilir
Proyek hilir batubara ke Dimethyl Ether (DME) dan metanol juga ditinggalkan investor asing. Investor tersebut adalah Air Products and Chemicals Inc., perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS).
Keputusan hengkang dari raksasa AS itu disampaikan dalam surat kepada pemerintah Indonesia.
Air Products telah memilih untuk menghentikan dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Keduanya terkait proyek DME sebagai pengganti LPG di Tanjung Enim. Awalnya, Air Products bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). Kedua, proyek gasifikasi batubara menjadi metanol dengan perusahaan Grup Bakrie, batubara akan dipasok dari PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.
Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail menjelaskan, Air Products telah mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia terkait keputusan tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan secara detail mengapa Air Products memutuskan untuk meninggalkan proyek DME yang digadang-gadang akan menggantikan gas elpiji.
“Mereka sudah mengirimkan surat resmi untuk alasan itu, mungkin ini masih dalam proses. Mungkin mereka punya alasan sendiri. Nanti di Kementerian, siapa yang bisa menjelaskan lebih lanjut,” kata Arsal saat ditemui di Jakarta, Kamis (3/9). /2023) nanti.
Menurut Arsal, pihaknya tetap berkomitmen menjalankan proyek hilirisasi batu bara di dalam negeri meski tanpa Air Products. Selain itu, program hilirisasi batubara merupakan upaya mendukung ketahanan energi negara.
Arifin Tasrif mengatakan Air Products saat ini fokus pada proyek hidrogen di AS. Ini mengikuti pemberian subsidi dari pemerintah AS untuk pengembangan proyek energi bersih.
“Di Amerika, dengan subsidi EBT, ada proyek yang lebih menarik di sana untuk hidrogen karena Amerika mendorong penggunaannya,” kata Arifin saat ditemui di Toko Kementerian ESDM, Jumat (17/3/2023).
Menurut Arifin, Inflation Reduction Act (IRA) memberikan subsidi murah untuk pengembangan proyek hidrogen sehingga banyak investor yang mengalihkan sebagian besar investasinya kembali ke negeri Paman Sam itu.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat masih menjabat Ridwan Djamaluddin mengatakan, salah satu pemicu keluarnya Air Products dari PSN adalah tidak adanya titik temu di bidang ekonomi. nilai dan model bisnis antara Air Products dan konsorsium dengan PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam (PTBA), serta KPC.
“Ya (karena) nilai ekonomisnya. Air Products, satu lagi kesamaan dengan KPC. Kami juga akan memfasilitasi pertemuan dengan KPC. Pada dasarnya model bisnis tidak bertemu antara kedua belah pihak. Persiapan kami ke depan harus lebih detail. ,” ujar Ridwan saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023) lalu.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Ada pergolakan & cobaan, Jokowi: Insya Allah tahun 2024 lebih mudah!
(wah/wur)